Senin, 09 Januari 2012

KEADILAN SOSIAL

Masalah keadilan adalah salah satu bahasan keagamaan yang krusial dan sangat universal. Di kalangan para theolog terjadi perdebatan panjang tentang keadilan ini, sehingga melahirkan aliran besar yaitu kaum pendukung keadilan (`adaliah) dan yang bukan. Kaum `adaliah diwakili oleh madzab Mu`tajilah dan Syi`ah walau banyak perbedaan di dalamnya.  Dan mereka yang kontra dengan keadilan adalah kaum `Aysariyah.

Keadilan yang ada di dunia Islam sangatlah luas medan bahasannya. Secara garis besar ada keadilan ilahi, yaitu bahasan keadilan yang berkenaan dengan Allah SWT. Juga ada keadilan yang berkenaan dengan manusia. Bahasan yang akan dibahas dalam kesempatan ini adalah keadilan sosial, yaitu salah satu bagian dari bahasan keadilan yang berkenaan dengan manusia.
Kenapa manusia harus berbuat adil? Kenapa harus berusaha juga menegakkan keadilan di muka bumi ini? Allah  Maha Adil, manusia sebagai khalifah Allah dituntut untuk menegakkan keadilan di dunia ini. Dirinya harus mencoba merealisasikan keadilan sebagai sifat tuhan, menjadikannya sebagai sifat dirinya.
Keadilan sosial mengandung arti memelihara hak-hak individu dan memberikan hak-hak kepada setiap orang yang berhak menerimanya1. Karena manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang tidak bisa berdiri sendiri dalam memenuhi segala kebutuhannya. Inilah salah satu alasan Allah menciptakan manusia dalam beragam warna kulit dan bahasa, suku dan ras, agar tercipta sebuah kebersamaan dan keharmonisan di antara manusia. Dengan manusia saling memenuhi kebutuhan masing-masing, maka kebersamaan dan saling ketergantunganpun tercipta, dan ini merupakan kedilan Allah yang Maha Adil.
Ketika manusia sebagai makhluk sosial, maka secara otomatis pula ada hak dan kewajiban di antara mereka. Hak dan kewajiban adalah dua hal timbal balik, yang tidak mungkin ada salah satunya jika yang satunya lagi tidak ada. Ketika ada hak yang harus dierima, otomatis juga ada kewajiban yang harus diberikan. Imam Ali mengatakan:
“Hak seseorang tidak akan terlaksana kecuali dengan melaksanakan kewajibannya. Begitu juga, kewajiban seseorang tidak akan  terlaksana kecuali dengan melaksanakan haknya”.2
Akan tetapi hak tidaklah bersifat timbal balik bagi Allah, karena hanya Allah saja yang hanya memiliki satu sisi saja yaitu hak dan tidak punya kewajiban. Hak Allah atas makhluk-Nya amatlah luas, berarti juga kewajiban kita sebagai manusia kepada Allah sangatlah banyak untuk disebutkan. “Tidak mungkin seseorang memiliki hak atas Allah, akal kita sangat kerdil untuk membenarkan bahwa ada seseorang yang memiliki hak atas Allah, walaupun nabi terakhir sekalipun”3. Imam Ali dalam salah satu khutbahnya mengatakan:
”Kalaupun terdapat pihak yang haknya terlaksana namun dia tidak memiliki kewajiban atas yang lain, maka itu hanya khusus untuk Allah”4
Semua manusia yang ada di alam ini tidak pernah lepas dari yang namanya hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban memasuki setiap ranah kehidupan dan setiap strata masyarakat. Hak dan kewajiban yang timbal balik diantara sesama manusia ini, kalau saling memberikan dan menerima dengan semestinya maka akan tercipta keharmonisan di antara manusia, dan inilah yang dinamakan dengan keadilan sosial. Melaksanakan kewajibannya dan menerima apa yang menjadi haknya.
Syahid Murtadha Muthahari dalam salah satu bukunya mengatakan : “Merealisasikan hak tidak bisa sendirian tapi harus kerjasama dengan orang lain. Hak tidak bisa tercipta dari satu pemikiran saja. Tidak ada seorang pun yang mempunyai kedudukan sedemikian tinggi sehingga tidak membutuhkan kerjasama dan sumbangan pemikiran orang lain”5.

Menegakkan Keadilan, Tugas Kita Bersama

Akan tetapi melaksanakan hak atau dengan kata lain menegakkan keadilan di antara manusia adalah hal yang sangat sulit. Karena manusia lebih mendahulukan keinginan dirinya, daripada harus memberikan sesuatu kepada orang lain. Kata hak adalah kata yang setiap orang mungkin mengetahui dan mengakuinya bahwa dirinya memilik hak atas orang lain yang harus ia berikan, dan ini berada di alam pikiran. Tapi ketika pengetahuan tadi harus kita laksanakan dan merealisasikannya di alam nyata, mengeluarkannya dari tataran teori, maka ini merupakan hal lain. Karena alam teori dan alam realita adalah dua alam yang berbeda, hanya bisa menyatu jika manusia tadi sudah bisa menyatukannya, dan menjadi satu kesatuan yang sudah tidak bisa dipisahkan lagi, apa yang ia ucapkan itulah yang ia lakukan. Betapa banyak hal yang kita ketahui, tapi yang kita praktekkan sedikit sekali. Imam Ali mengatakan:
”Hak adalah sesuatu yang sangat luas untuk disifati, tapi sangat sempit untuk bisa dilaksanakan”6.
Salah satu tujuan terbesar diutusnya rasul-rasul Allah, terutama Nabi terakhir Rasul penutup Muhammad saw adalah menegakkan keadilan di bumi. Sebagaimana dalam Al Quran disebutkan:
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilam) supaya manusia dapat menegakkan keadilan” (Qs  Al Hadid :25)
Keadilan merupakan pokok terpenting untuk menciptakan tatanan dunia yang damai dan makmur, tanpa ada diskriminasi dan pelanggaran HAM di antara sesama. Semua nabi diutus oleh Allah untuk menegakkan keadilan. Tapi keadilan itu tidak akan tercipta selama manusia masih menggunakan hukumnya, masih mendahulukan keinginan dan ego pribadinya, maka jangan harap keadilan di muka bumi akan tercipta, karena hanya keadilan yang bersumber dari tuhan saja yang bisa menjamin, dan tidak tercipta diskriminasi, bukankah para nabi juga orang-orang yang beriman sudah membuktikan hal itu?
Pemimpin keadilan, Imam Ali adalah bukti nyatanya. Beliau berusaha untuk menegakkan keadilan di masa pemerintahannya, menghilangkan kezaliman yang menimpa umat, karena kezaliman waktu itu adalah warisan penguasa sebelumnya. Maka beliau sebagai pemangku jabatan pemerintahan yang baru harus berusaha mengembalikan hukum yang sudah jungkir balik. Keadilan adalah merupakan prioritas utama di masa awal pemerintahannya. George Jordac mengatakan: ”Usaha-usaha amirul mukminin difokuskan pada perbaikan diri dan akhlak, dan berusaha menempatkan masyarakat pada dasar kejujuran dan keadilan demi melaksanakan hukum yang adil bagi kehidupan materi dan keduniawian manusia”7.
Dunia dewasa ini diperintah oleh negara-negara adikuasa, dan tentunya mereka ini bukan atas dasar keadilan yang sebenarnya, akan tetapi atas nama keadilan yang mereka bawa. Bukan keadilan yang sesungguhnya akan tetapi keadilan yang sudah didramatisir dan diskenario sedemikian rupa demi kepentingan perut mereka saja. Mereka  meneriakkan keadilan dan ingin menciptakan masyarakat yang demokratis. Akan tetapi  ironis sekali, yang terjadi bukannya keadilan tetapi eksploitasi dan penjajahan. Telah terjadi konspirasi tingkat tinggi antara pemimpin dunia, sehingga negara yang kecil dan rapuh adalah sasaran empuk dan menjadi bulan-bulannan mereka, Inalillah…..
Kebiasaan buruk atau kejahatan yang ditolelir dan dilakukan secara berulang-ulang akan menjadi kebiasaan, ujung-ujungnya tidak lagi dianggap sebagai kejahatan, tapi merupakan hal yang biasa. Walaupun esensi utamanya tetap, yaitu kejahatan dan keburukan. Hal ini merupakan hal yang sangat berbahaya. Kejahatan yang diakui sebagai kebenaran tetap menjadi sebuah kejahatan. Negara-negara lemah mengaharapkan uluran tangan. Tetapi tidak ada yang menjadi harapan mereka kecuali tuhan mereka yang Maha Adil dan Maha Kasih. Imam Ali as mengatakan:
“Si tertindas dan tak berdaya adalah orang-orang mulia dan si penindas adalah orang-orang hina dan rendah, orang-orang kecil tidak dapat melakukan moral dan pembawaan yang baik karena ketidakberdayaan mereka dari penindasan pejabat, sedangkan para pejabat menyembunyikan cacat mereka di balik pakaian yang mewah”.8
Kita harus berusaha menciptakan keadilan, atau paling tidak menjadi bagian dari orang-orang yang meneriakkan keadilan. Kita tidak punya pilihan lain kecuali dua hal; menjadi pendukung keadilan atau menjadi penyokong kezaliman. Tentunya kita sebagai manusia yang berakal menjadi pendukung, bukan menjadi sebaliknya. Menjadi pendukung bukanlah hal yang gampang, karena keadilan dan kebenaran membawa konsekuensi yang banyak sekaligus berat, kita harus mempersiapkan diri untuk menggapainya. Bukankah pengikut pemimpin keadilan (Imam Ali) sebagaimana beliau katakan,  harus siap menderita dan menghadapi cobaan???
Ketika kita sebagai kaum muslimin merasa lemah, musuh teramat banyak dan senantiasa mengintai kita, juga fitnahpun semakin merajalela, musuh-musuh Islam semakin gencar menuduh yang tidak-tidak dan kita tidak memiliki penolong lagi, kecuali pemimpin harapan, dan imam yang ditunggu. Maka kita hendaknya sering-sering membaca doa Fi Zaman Al Ghaibah terutama pada hari jum`at. Meminta kepada Allah agar Imam Mahdi af segera dimunculkan dan kita menjadi bagian dari orang-orang yang mendukung beliau dan mati syahid bersama beliau, Amiin.
Tapi sedari sekarang kita harus melatih diri berbuat adil terhadap orang lain dan diri sendiri. Berusaha sedikit demi sedikit meneriakkan keadian semampu kita, “Kita harus adil sejak dalam pikiran”9.
Diantara kutipan doa Fi Zaman Al Ghaibah, Mafatihul Jinan; Syekh Abbas Qummi   :
“Ya Allah, kami mengadu kepada-Mu, nabi kami telah tiada, imam kami pun gaib, sedangkan  keadan zaman semakin menekan kami, fitnah menimpa kami, musuh-musuh kami semakin nampak dan semakin banyak, sedangkan jumlah kami teramat sedikit. Maka ya Allah kami memohon kepada-Mu selesaikanlah hal itu semua, dengan Engkau segerakan kemenangan-Mu kepada kami, muliakan kami dengan pertolongan-Mu, dan imam yang adil pun  Engkau tampakkan (kepada kami), amiin ya Allah”. (DATA/sa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar